Buku “Subconscious Mind Writing” Muncul di Kompas

I Ketut Suweca

Koran Kompas terbitan Selasa, 21 Februari 2012, baru saja saya baca. Ada banyak artikel menarik di sana. Di antaranya adalah artikel mengenai Merry Riana yang sukses menjadi pengusaha, berhasil pula menjadi penulis dan motivator.
Yang paling menarik ialah rubrik Bibliotika! pada halaman 35 koran tersebut. Gambar buku karyaku yang diterbitkan oleh Udayana University Press tahun 2011, muncul di situ, disertai dengan ulasan yang cukup untuk memperkenalkan buku berketebalan xiv + 182 dan berbandrol Rp.45.000,- kepada khalayak.
Buku tentang teknik menulis artikel untuk media massa dan dorongan menulis ini sudah beredar di toko-toko buku di Indonesia. Di antaranya di TB Gramedia dan Togamas yang tersebar di beberapa kota besar.

Nah, bagi Anda yang ingin mendapatkan rahasia sukses menjadi penulis artikel di media massa dan ingin merasakan motivasi yang kuat sehingga tergerak menulis, segera dapatkan dan bacalah buku ini. Petiklah manfaat dari buku penuh inspirasi ini.
Read more ...

Menyoal Publikasi Karya Ilmiah

I Ketut Suweca

Pembicaraan seputar karya tulis dan publikasi di jurnal ilmiah belakangan demikian marak. Tak hanya ditulis di media massa cetak, bahkan di media online pun, kesemarakan diskusi tersebut tak terbendung. Semua itu berawal dari Surat Edaran (SE) Dirjen Dikti No. 152/E/T/2012 bertanggal 27 Januari 2012 yang mewajibkan setiap mahasiswa S1, S2, dan S3 membuat dan mempublikasikan karya ilmiahnya melalui jurnal ilmiah. Untuk S1 di jurnal ilmiah kampus setempat, S2 di jurnal nasional yang teakreditasi, dan S3 di jurnal internasional. Surat edaran yang dikirim kepada para rektor/ketua perguruan tinggi se-Indonesia dan diberlakukan mulai dari kelulusan Agustus 2012 itu ternyata telah mengundang lahirnya berbagai pendapat dari kalangan perguruan tinggi dan mahasiswa yang menjadi “objek” kebijakan. 

Sebagian diantara mereka yang dengan senang hati menerima “perintah” itu. Sebagian lainnya, mengkritisi kebijakan Dirjen Dikti tersebut dengan berbagai argumentasi, bahkan menuding kebijakan itu sama sekali tanpa pijakan dan tidak membumi. Bahkan, di sebuah media nasional, Franz Magnis-Suseno, dalam artikelnya menulis pertanyaan retoris, “Pertanyaan saya, berapa lama rekan-rekan di perguruan tinggi di Indonesia membiarkan diri dipermainkan oleh birokrat-birokrat yang wawasannya kadang-kadang berkesan beyond hope, melampaui harapan?” 

Terlepas dari sikap pro-kontra yang terjadi, kelahiran SE tersebut tentu dilandasi oleh niat baik, yakni agar para mahasiswa Indonesia lebih produktif lagi dalam menulis karya ilmiah sehingga tidak kalah dari negara yang dijadikan rujukan dalam SE itu. Menariknya, negara yang dijadikan rujukan adalah Malaysia yang kuantitas publikasi ilmiahnya jauh lebih banyak daripada Indonesia. Berdasarkan data, selama kurun 1996-2010, Indonesia memiliki 13.047 jurnal ilmiah, sementara Malaysia 55.211. Yang lupa dirujuk adalah bagaimana pendanaan penelitian di negara itu, bagaimana pula tingkat kondusivitas research PT-PT setempat. Di dalam artikel sederhana ini, penulis akan mengemukakan sedikit bahan pertimbangan sederhana. Tak hendak “mengajar itik berenang” karena kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh sebuah institusi tentu (seharusnya) telah melalui berbagai kajian yang mendalam.
Pertama, yang berkaitan dengan kondisi perguruan tinggi di Indonesia. Kebijakan yang diteken Dirjen Dikti itu dimaksudkan untuk semua perguruan tinggi di Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, hendaknya disadari bahwa perguruan tinggi di Indonesia sangat bervariasi dalam banyak hal, termasuk dalam kualitas dan kemampuan finansial. Ada perguruan tinggi besar dan ternama dengan hasil risetnya, sebaliknya tak kurang yang berkategori kecil atau kata teman saya disebut “PT Gurem” yang untuk mendukung kegiatan operasionalnya saja sudah setengah mati. Bagi sebagian dari perguruan tinggi yang besar dengan fasilitas lengkap, mungkin tak terlalu masalah dengan kewajiban publikasi ilmiah bagi mahasiswanya. Dia pada umumnya telah mempunyai publikasi ilmiah di kampusnya, walaupun tetap saja paper yang mampu dimuat di dalam publikasi itu menjadi kendala karena daya tampung yang terbatas. Tetapi, bagi perguruan tinggi swasta kecil di pelosok yang tidak memiliki publikasi ilmiah, persoalannya akan menjadi rumit. Ke mana mahasiswa akan mempublikasi karya ilmiahnya agar bisa lulus studi? Kalau melalui publikasi online, bagaimana pengawasan mutunya? Sudahkah semua publikasi ilmiah dalam posisi online?

Kalau persyaratan karya ilmiah wajib publikasi itu benar-benar diberlakukan tanpa ampun, maka akan banyak sekali calon sarjana yang mentok hanya karena publikasi ilmiah. Akan banyak sekali mahasiswa yang ngantri menjadi sarjana lantaran karyanya tak dimuat di jurnal ilmiah. Salah satunya penyebabnya karena terbatasnya jurnal ilmiah. Akan banyak mahasiswa “terperangkap” oleh aturan yang amat menyulitkan mereka untuk berhasil lulus. Akhirnya, kewajiban publikasi ilmiah menjadi penghambat bagi kelulusan seseorang calon sarjana. Semakin lama mereka studi, kian besar biaya yang dikeluarkan. Belum lagi kerugian psikologis yang menyertainya. Hal ini akan menjadi penyebab mahasiswa cenderung putus kuliah! Jangan-jangan, karena SE ini pula, banyak dosen yang merasa takut meneruskan pendidikannya ke jenjang S3, sesuatu yang kontraproduktif dengan cita-cita meningkatkan kualitas perguruan tinggi! Sudahkah hal ini diperhitungkan? 

Kedua, yang berkaitan dengan budaya menulis/mengarang. Diakui atau tidak, budaya menulis memang belum merata di kalangan mahasiswa, bahkan di kalangan dosen sekalipun. Sungguh menggembirakan kalau membaca karya tulis opini mahasiswa di beberapa media massa cetak. Mereka memanfaatkan media yang ada untuk mengekspresikan pendapatnya ke dalam karya yang bernas. Akan tetapi, lihatlah, yang menulis orangnya itu-itu saja dari waktu ke waktu. Kalau diamati, tidaklah banyak mahasiswa yang memiliki kemampuan menulis seperti itu, apalagi untuk tulisan dengan kadar ilmiah terpercaya untuk jurnal ilmiah pula. Oleh karena itu, ke depan sangat diperlukan pembimbingan/pendampingan dalam hal menulis karya ilmiah yang layak dipublikasikan. Di sinilah peran dosen sebagai pendamping mahasiswa sangat dibutuhkan. Akan tetapi, pertanyaannya, sudahkah semua dosen kita familiar dalam menyusun karya ilmiah yang layak dipublikasikan di jurnal nasional dan internasional? Untuk publikasi di tingkat nasional, apalagi internasional, tentu bukan perkara gampang seperti mengganti pakaian. Persoalan mutu karya adalah persoalan besar yang bisa membikin blunder!

Berangkat dari keadaan sebagaimana digambarkan di atas, maka penulis usulkan dua hal yang kiranya dapat dipertimbangkan dalam mengambil kebijakan ke depan. Motivasinya adalah agar tak ada pihak yang dirugikan dan jumlah publikasi ilmiah pun bisa bertambah secara bertahap yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan tinggi. 

Pertama, untuk sementara, ada baiknya ditunda dulu pemberlakuan SE tersebut. Lebih layak publikasi ilmiah dimaksud hanya diwajibkan untuk para dosen yang sudah bersertifikasi. Kedua, saat surat edaran itu diberlakukan nantinya terhadap para mahasiswa S1,S2, dan S3, hendaknya dimulai secara bertahap. Pada tahap awal, perlu dilakukan pendampingan kepada para dosen untuk meningkatkan kemampuan membuat karya tulis ilmiah yang bernas dan layak publikasi nasional dan internasional. Selanjutnya, kemampuan itu ditularkan kepada para mahasiswa didiknya. Mahasiswa sejak awal perlu dipersiapkan untuk memahami dan menyusun publikasi ilmiah ini. Pemerataaan pertumbuhan jurnal ilmiah pun hendaklah didorong di semua perguruan tinggi. Insentif pendukung kegiatan riset dan menulis karya ilmiah seyogianya lebih mendapat perhatian. Tahapan di atas, menurut penulis, perlu dilakukan untuk memperkuat persiapan semua komponen yang terkait.

Semoga niat baik Dirjen Dikti ini untuk meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dapat tercapai secara bertahap tanpa meninggalkan “korban”, baik di pihak mahasiswa maupun perguruan tinggi.
Read more ...

Untaian Kata Penggugah Semangat Menulis

I Ketut Suweca

Sahabat kompasianer, apa kabar? Semoga sehat dan tetap bergairah menuangkan ide-ide melalui artikel di media kompasiana tercinta. Jika sekiranya diantara sahabat perlu penyemangat menulis karena merasa mentok, macet, atau malas, simak dan resapilah untaian penggugah yang saya petik dari berbagai sumber, berikut ini.
***
“Kuatkan alasan yang menggerakkan hasrat untuk segera menulis. Dengan motivasi yang kuat, niat kita tak akan berkubang menjadi rencana belaka. Kita harus membentuk spirit yang mantap dan beraksi konkret jika ingin segera melahirkan karya.” (Alberthine Endah)
***
”Menulis bukan lagi sebuah kerja elite, sulit, mahal, dan artifisial sebagaimana mulanya. Menulis kini adalah sebuah kerja ‘alamiah’, seperti kita minum, tidur, beranak, bersenandung, atau mencoret-coret gambar. Ia adalah satu kebutuhan dasar. Ia adalah ukuran adab dan kebudayaan. Dan, manusia terisap di dalamnya. Manusia harus bisa menulis, bahkan menjadi penulis.” (Radhar Panca Dahana)
***
“Aku memaksakan diriku untuk mulai menulis di saat aku sudah sangat lelah, ketika aku merasa jiwaku setipis kartu remi, ketika tidak ada sesuatu pun yang tampaknya pantas untuk dilakukan untuk lima menit berikutnya. Dan… kegiatan menulis itu ternyata dapat mengubah segalanya.” (Joyce Carol Oats)
***
“To be a writer, you must be curious about everything around you, feel more deeply and have more understanding of things than other people.” (Lin Yutang)
***
“Orang yang berbakat gagal melihat masalah sebagai hambatan. Sedangkan orang sukses melihat masalah sebagai tantangan yang membuat hidup lebih bergairah. Demikian pula dalam menulis.” (Mohammad Fauzil Adhim).
***
“Kau, Nak, paling sedikit kau harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis, suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” ( Pramoedya Ananta Toer).
***
“Membaca, membaca, membaca, jangan lupa membaca. Hidupkan, hidupkan, jangan lupa … menulislah, menulis, dan menulis …” (George Simenon).
***
Dalam bingkai semangat berbagi, untaian penggugah semangat ini saya hadirkan untuk para sahabat yang menyukai dunia tulis-menulis. Tiada lain maksudnya, agar gairah kita berkarya yang mungkin sempat redup, bersinar kembali.
Read more ...

Dua Ahli Bahasa di Sebuah Selokan

I Ketut Suweca

Saya beruntung mendapat kesempatan membaca buku “The Dancing Leader” (2011), terbitan Penerbit Buku Kompas. Di samping bisa menikmati pemikiran sejumlah ahli tentang kepemimpinan dan pembangunan ekonomi-pertanian, juga menyimak kumpulan cerita menarik dan bermanfaat di dalamnya. 

Kalau cerita itu melulu untuk saya nikmati sendiri, kayaknya nggak seru deh. Saya kutip satu dari puluhan cerita tersebut dan membagikannya untuk pembaca yang kebetulan belum sempat membaca buku itu. Judulnya: “Dua Ahli Bahasa di Sebuah Selokan.” Yuk kita mulai.

Dikisahkan, pada suatu hari seorang ahli bahasa terperosok ke dalam selokan yang cukup dalam. Dia tidak bisa keluar, kecuali dengan bantuan orang lain. Lalu, datanglah seorang petani dan berkata:
“Perlu bantuan?”
Sang ahli bahasa merasa tersinggung dengan bahasa orang itu yang terdengar kasar dan tidak mengindahkan tata bahasa yang baik dan benar.
“Ucapanmu itu bisa dimengerti kalau tadi kamu mengatakan, “Apakah kamu memerlukan bantuan, Tuan?” kata si ahli bahasa dari dalam selokan.
Kemudian datang lagi orang kedua dan berkata seperti orang yang pertama. Si ahli bahasa kembali marah-marah dan mengatakan lagi. “Ucapanmu baru bisa dimengerti kalau tadi kamu mengatakan, ‘Apakah kamu memerlukan bantuan, Tuan?’”

Begitu seterusnya sampai beberapa orang yang ingin menolongnya akhirnya membatalkan niatnya. Lantas, datanglah seseorang yang tampaknya juga seorang ahli bahasa. Orang itu berkata, ”Apakah kamu memerlukan bantuan, Profesor? Jika memerlukan, aku akan mengulurkan tangan kepadamu.”
Sang ahli bahasa yang terperosok di selokan senang bukan main. Dia mengulurkan tangan untuk memegang tangan sang penolong. Tetapi, tubuh sang penolong sangat lemah, hingga akhirnya mereka berdua terjungkal ke dalam selokan. Maka, jadilah dua orang ahli bahasa di sebuah selokan. 

Pelajaran apa yang bisa dipetik dari cerita ini? Para cendekiawan sekarang sering disibukkan oleh sesuatu yang terlalu bergaya ilmiah dan tak peduli walau kadang penyelesaiaan persoalan yang dihadapi amat sederhana. Dalam cerita ini, yang diperlukan hanya mengulurkan tangan, tak perlu berteori tentang tata bahasa. Kekakuan sikap itu acapkali kurang pas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Read more ...

Kelas Menengah dan Perilaku Konsumtif

Setelah mengalami pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen akibat krisis tahun 1998, Indonesia terus mencatat pertumbuhan positif rata-rata 5 persen sejak tahun 2000. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif sejak tahun 2000 melahirkan masyarakat kelas menengah. Geliat ekonomi ini telah memunculkan sekitar 9 juta warga kelas menengah baru setiap tahunnya. Kategori kelas menengah, menurut Bank Dunia, adalah mereka yang membelanjakan uangnya  sebesar  2 dolar sampai 20 dolar AS per hari.

Masyarakat kelas menengah ini diharapkan bisa menjadi semacam bemper ekonomi dari terjangan krisis  global. Konsumsi mereka yang menyumbang 70 persen dari pertumbuhan ekonomi  diharapkan menggerakkan perekonomian Indonesia agar terus bertumbuh.
Laporan Bank Dunia menyebutkan, jumlah kelas menengah di Indonesia saat ini sekitar 56,5 persen dari total jumlah penduduk. Menurut Sensus Penduduk 2010, penduduk Indonesia berjumlah 237,6 juta. Berarti, jumlah kelas menengah dengan pengeluaran per hari 2 dolar  AS  (sekitar Rp. 18.000,-) sampai dengan  20 dolar AS  (sekitar Rp.180.000,-) tidak kurang dari 134 juta orang.

Berkembangnya jumlah kelas menengah Indonesia secara pesat bukan melulu karena pertumbuhan ekonomi. Gaji pegawai negeri sipil dan swasta yang naik secara gradual juga mendorong tumbuhnya kelas menengah ini. Demikian juga perkembangan pekerjaan pada sektor telekomunikasi, penerbangan,  pertambangan, dan perkebunan yang tumbuh cepat ikut mendongkrak bertambahnya kelas menengah.

Perilaku Konsumtif
Dari 134 juta orang jumlah  kelas menangah, sekitar 14 juta orang masuk ke dalam rata-rata pengeluaran 6 dolar sampai 20 dolar AS per hari. Sebanyak  68 persen atau sekitar 91 juta orang lainnya merupakan kelas menengah bawah, dengan pengeluaran 2-4 dolar AS per hari.

Nafsu kelas menengah untuk berbelanja ternyata sangat besar. Bahkan masyarakat kelas menengah ini memiliki gaya tersendiri dalam berbelanja. Masih menurut Bank Dunia, nilai uang yang dibelanjakan kelas menengah Indonesia sangat  fantastis. Belanja pakaian dan alas kaki tahun 2010 mencapai Rp.113,4 triliun. Belanja rumah tangga dan jasa sebesar Rp.194,4 triliun, belanja di luar negeri Rp.50 triliun, dan biaya transportasi Rp. 283,6 triliun.

Lebih lanjut, data Bank Indonesia menunjukkan, jumlah transaksi menggunakan kartu kredit dalam periode 2005-2010 naik 2,5 kali lipat sehingga menjadi Rp.161,4 triliun. Ada 6,7 juta orang yang memegang kartu kredit. Kecenderungan peningkatan konsumsi dan transaksi menggunakan kartu kredit ini harus dikendalikan agar tidak kontraproduktif. Jika konsumen terjebak dalam nafsu konsumtif yang berlebihan sehingga  terjerat utang, bukan tidak mungkin kelas menengah ini bakal jatuh ke jurang kemiskinan.

Ekspektasi peningkatan penghasilan pada tahun-tahun mendatang diyakini  akan terus mendorong konsumsi. Kini, konsumsi berperan 70 persen atas produk domesti bruto (PDB). Hal ini dibenarkan oleh pengamat ekonomi, Tony Prasetiantono, yang mengatakan bahwa struktur perekonomian Indonesia menunjukkan konsumsi berperan sangat besar, yakni sekitar 70 persen. Disebutkan, menguatnya kelas menengah ini berdampak positif pada peningkatan permintaan tidak saja pada jasa penerbangan dan telekomunikasi, bahkan juga otomotif. Ini memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi.

Potensi pertumbuhan masyarakat kelas menengah masih terbuka di tahun 2012. Pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun 2012 sekitar 6,7 persen. Dengan asumsi ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi 1 persen akan menciptakan 450.000 lapangan kerja baru. Akan  tercipta peluang untuk mendapatkan pekerjaan bagi mereka yang menganggur. Dan,  mereka akan  sangat potensial menjadi kelas menengah.

Mesti Terkontrol
Tentu saja pertumbuhan ekonomi dan kelas menengah di Indonesia merupakan sesuatu yang positif. Pertumbuhan ekonomi menunjukkan relatif membaiknya tingkat pendapatan dan kesejahteraan sebagian masyarakat Indonesia. Akan tetapi, tetap harus diperhatikan bahwa 68 persen dari kelas menengah yang ada atau sebanyak 91 juta yang termasuk kelas menengah di level bawah dengan penghasilan 2-4 dolar AS. Jika perilaku konsumtif mereka menjadi-jadi dan tidak terkontrol, dapat dipastikan mereka akan terlibat utang. Apalagi dibarengi dengan kebiasaan berbelanja dengan kartu kredit yang bisa membuat penggunanya  tanpa sadar membelanjakan uangnya hingga  terkuras habis. Hukum Engle yang menyebutkan, bahwa elastisitas pendapatan terhadap permintaan nonmakanan lebih besar dari 1. Kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1 persen akan meningkatkan permintaan konsumsi nonmakanan lebih dari 1 persen. Perilaku konsumtif  terjadi kini seakan membuktikan kebenaran  Hukum Engle itu.

Kecenderungan konsumtif akan lebih dipersubur oleh adanya pasar global yang membuka perdagangan antarnegara yang kian masif. Indonesia bakal terus diguyur dengan produk-produk impor melihat besarnya kelas menengah dan sifat konsumtif mereka. Dengan pola hidup konsumtif yang bertemu dengan ketersediaan barang-barang impor, bukan mustahil kelas menengah akan tanpa banyak pikir dalam  membelanjakan uangnya.

Lalu, mengapa kelas menengah ini cenderung berbelanja tidak terkontrol? Pertama, mungkin lantaran mereka merasa perlu merayakan kebebasan setelah lama terkungkung di dalam penderitaan sebagai orang melarat. Kedua, barangkali karena keinginan untuk unjuk kekayaan dengan membeli barang-barang peralatan rumah tangga, otomotif, telepon seluler terbaru, dan sebagainya. Mereka ingin menunjukkan kepada orang lain bahwa status sosial mereka sudah berubah. Tidak lagi masuk kelas masyarakat miskin, melainkan sudah masuk kelompok berpunya dengan kepemilikan harta-benda itu.

Peningkatan pendapatan cenderung menggeser pola berbelanja, dari “kebutuhan” ke arah “keinginan”. Mencermati kecenderungan ini, maka kelas menengah  mesti hati-hati dan  mampu menahan nafsu berbelanja agar tidak mengeluarkan uang sekadar untuk  memenuhi keinginan, bukan kebutuhan yang sesungguhnya. Hal ini  harus benar-benar dilakukan jika tak ingin kelas menengah ini, terutama yang paling riskan adalah kelas menengah dengan  pengeluaran 2-4 dolar per hari, terpelanting dan jatuh miskin karena lebih besar pasak daripada tiang!

Ada dua hal positif yang bisa dilakukan oleh kelas menengah daripada sekadar memenuhi nafsu komsumtifnya. Pertama, meningkatkan kepedulian terhadap masyarakat miskin. Pergeseran posisi ekonomi secara vertikal yang dicapai seyogianya juga meningkatkan kepedulian kelas menengah terhadap masyarakat miskin. Jangan hendaknya masyarakat kelas menengah hanya berkutat pada kepentingan sendiri dan menutup mata terhadap kondisi kaum miskin di sekitarnya. Dengan tumbuhnya kepedulian, maka mereka  ikut  berperan dalam membantu masyarakat miskin terlepas dari keterpurukannya sekaligus mempersempit kesenjangan ekonomi.

Kedua, kelebihan pendapat itu sebaiknya sebagian ditabung. Seperti dinyatakan ekonom Muhammad Chatib Basri, bahwa tabungan yang berlimpah akan membuat biaya investasi turun dan  pada gilirannya akan mendorong investasi. Ajakan ini sejalan dengan pesan lirik lagu bernada canda Titiek Puspa tempo dulu:  “bang bing bung yuk kita  ke bank/ bang bing bung yuk kita nabung/ tang ting tung he, jangan dihitung/tahu-tahunya kita pasti dapat untung.”
Read more ...

Empat Sifat Utama Manusia Kreatif

Pemerintah sudah mengidentifikasi lingkup industri  kreatif yang mencakup 14 sektor, yakni permainan interaktif, piranti lunak (software), periklanan, riset  dan pengembangan, seni pertunjukan, televisi dan radio, film, video dan fotografi, kerajinan, arsitektur, busana (fashion), desain, musik, pasar dan barang seni, serta penerbitan dan percetakan.

Usaha memajukan sektor ekonomi kreatif Indonesia memerlukan insan-insan yang kreatif. Unsur kreativitas inilah yang menjadi modal utama bagi terlahirnya produk-produk kreatif sebagai hasil daya cipta dan karsa manusia. Tanpa kreativitas, maka hasil karya akan monoton, bahkan mungkin tak laku lagi di pasaran. Kreativitas menjadi unsur penentu bagi keberlanjutan hidup industri-industri kreatif untuk menyokong tumbuhnya ekonomi kreatif di negeri ini.

Joseph G. Mason (1999) mengatakan  bahwa semua penelitian mengenai apa yang menyebabkan seseorang menjadi kreatif menunjukkan empat sifat utama. Beberapa eksperimen memperlihatkan bahwa keempat sifat ini bisa diperoleh atau dikembangkan ke suatu tingkat pada setiap individu.  Keempat sifat utama manusia kreatif sebagaimana disebut Joseph G. Mason meliputi: kepekaan terhadap masalah, membuka aliran gagasan, menemukan orisinalitas/keaslian, dan memegang fleksibilitas kreatif.
Kepekaan terhadap masalah.

Setiap apapun yang dikerjakan dan dihasilkan manusia, tak pernah mencapai kesempurnaan. Selalu saja ada kekurangan, selalu saja ada cacat-celanya. Pada setiap produk, senantiasa bisa dilihat mengenai “apa yang bisa diperbaiki”. Dengan landasan pemikiran seperti ini, maka akan dapat diselidiki ‘apa masalah’ yang masih ada pada suatu produk. Kalau produk itu berupa patung, misalnya, maka pertanyaannya yang muncul diantaranya: bagian detail mana yang bisa disempurnakan sehingga hasilnya akan lebih baik lagi ke depan? Kalau itu produk fotografi: bagaimana memanfaatkan teknik yang lebih baik agar foto yang dihasilkan pun lebih bagus?

Menurut Joseph G. Mason, cara termudah untuk memperbaiki kepekaan terhadap masalah sebenarnya sederhana saja, yaitu dengan menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun yang sudah dikerjakan  dengan sempurna. Setiap artikel yang dibuat manusia, setiap operasi bisnis, setiap teknik hubungan manusia, selalu bisa diperbaiki dan pada suatu hari akan berubah menjadi lebih baik. Jika orang dapat mengenali masalah-masalah ini sebagai suatu tantangan bagi upaya kreatifnya, ia akan berada di separuh jalan untuk menemukan pemecahan kreatif.

Membuka Aliran Gagasan

Setiap orang sejatinya dapat mengumpulkan sejumlah besar alternatif pemecahan terhadap suatu masalah tertentu dalam kurun waktu tertentu. Semakin banyak gagasan yang dimiliki, semakin besar kesempatan untuk menemukan pemecahan terbaik yang dapat digunakan. Di samping itu, akan kian terbentang peluang untuk menghindari cara-cara lama dalam mengerjakan segala sesuatu. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk kelancaran aliran gagasan, yaitu: pertama, membuat catatan.  Membuat catatan sudah jamak diketahui dan dipraktikan. Jenis catatan yang harus dibuat adalah yang menangkap setiap gagasan liar. Catatlah segera, tuliskanlah di selembar kertas atau buku yang tersedia. Catat pula pendapat kita terhadap semua masalah yang kita   pikirkan.  Termasuk mencatat segala sesuatu yang diperkirakan berguna di masa depan, betapapun tampak kecilnya kemungkinan itu. 

Tes psikologi tentang kemampuan mengingat sesuatu, menyebutkan: kecepatan lupa adalah 25 persen dalam 24 jam pertama, 85 persen dalam satu minggu. Karena itu, membuat cacatan untuk membantu mengingat menjadi sangat masuk akal. Sistem apapun yang dibuat, sasarannya adalah untuk dapat dengan cepat mengumpulkan dan menemukan kembali segala sesuatu yang telah kita lihat, baca, dengar, atau alami sebelumnya.
Kedua, menemukan waktu kreatif. Setiap orang memiliki jumlah waktu yang sama, yakni 24 jam dalam sehari. Dalam siklus waktu itu, ada saat-saat di mana seseorang menemukan puncak-puncak kreativitasnya, entah pagi, siang, sore, ataupun malam hari. Pada saat-saat itulah dia menjadi begitu kreatif dalam berpikir. Banyak ide-ide lahir pada waktu-waktu tertentu. Itulah saat yang disebut dengan puncak kreatif seseorang. Inilah karunia Tuhan yang tiada duanya, yang pantas dimanfaakan untuk melahirkan gagasan kreatif. Sia-sialah kalau seseorang yang dikaruniai waktu-waktu kreatif tetapi tidak memanfaatkannya dengan baik, malahan memilih berleha-leha.

Siklus kreativitas setiap orang berbeda-beda dan harus diketemukannya sendiri. Setelah menemukan puncak waktu kreatif itu, lalu manfaatkan untuk memikirkan pemecahan masalah dengan tujuan mendapatkan gagasan. Jika dipandang perlu,  gunakan lokasi atau ruang yang  khusus dan sama  dalam setiap waktu kreatif ini. Suasana lingkungan yang mendukung bisa membantu pendakian ke puncak kreativitas dus menghasilkan gagasan-gagasan berharga .

Ketiga, menentukan batas waktu. Menjadi sifat manusia untuk menunda-nunda penyelesaian masalah. Kalau  bisa dikerjakan besok, mengapa harus sekarang? Begitulah pertanyaan retoris yang cenderung menghasilkan penundaan pemecahan masalah. Kita memang harus bersungguh-sungguh melibatkan diri secara emosional dalam memenuhi batas waktu yang kita tetapkan. Misalnya, dalam sehari kita berencana menemukan 10 alternatif pemecahan sebuah masalah. Dengan kata lain, pada hari itu, kita wajib mendapatkan 10 gagasan, dan berjuang untuk menepati dan memenuhinya. Hal ini akan menjadi suatu dorongan yang sangat baik.

Berikanlah kuota untuk diri sendiri. Tujuan mengembangkan aliran gagasan adalah untuk membangun kapasitas atau kemampuan kita  untuk menghasilkan gagasan. Usahakan kuotanya lebih banyak dari gagasan yang sebenarnya kita butuhkan. Bonus tambahan yang bakal diperoleh: kita mungkin akan menemukan bahwa kualitas gagasan tersebut akan bertambah baik sejalan dengan kuantitasnya. Jika kita memiliki satu cara pemecahan masalah, dan ternyata gagal, maka masalah tak terpecahkan. Jika kita  punya satu masalah, tetapi mempersiapkan alternatif 10 gagasan sebagai jalan keluar, maka peluang penuntasan masalah menjadi sangat besar. Modal  kekayaan gagasan ini pun bisa menjadi investasi berharga bagi upaya pemecahan masalah lainnya yang sejenis.

Menemukan Orisinalitas/Keaslian
Salah satu sifat manusia kreatif adalah keingintahuannya yang tinggi. Dengan bekal keingintahuan (curiosity) yang tinggi, maka peluang untuk menemukan gagasan-gagasan baru sangat besar. Orang-orang seperti ini selalu bertanya kepada diri sendiri dan orang lain: Mengapa hal itu dibuat dengan  cara seperti itu?  Mengapa harus  mengikuti prosedur ini? Bagaimana kita dapat memperbaiki  cara kita melakukan hal ini? Adakah cara lain yang lebih baik? Bisakah kita menggunakan pendekatan teknologi dalam hal ini? Charles Kettering menyebut cara ini dengan istilah “menantang hal yang pasti secara sistematis”.

Sebuah karya kreatif adalah karya yang menunjukkan unsur kebaruan, orisinalitas. Tak harus seratus persen, memang. Sebagian saja mengandung orisinalitas sudah cukup. Yang terpenting selalu ada unsur kebaruannya setiap kali suatu produk dihasilkan. Tidaklah gampang menemukan kebaruan hingga seratus persen. Jika menunggu kebaruan sebesar itu, maka hasil karya kita tak akan pernah selesai. Hakekatnya, terhadap setiap karya yang dihasilkan, selalu ada peluang untuk perbaikan, penyempurnaan, atau pembaharuan berikutnya.

Memegang Fleksibilitas Kreatif
Fleksibilitas kreatif diwujudkan ke dalam bentuk kesediaan untuk mempertimbangkan beragam pendekatan terhadap suatu masalah. Sebagian besar merupakan masalah sikap. Mentalitas yang menghambat biasanya datang dari diri sendiri. Bentuknya mungkin sifat alamiah manusia yang enggan berubah. Dengan berubah, mungkin rasa aman bakal hilang. Zona nyaman (comfort zone) yang telah dinikmati dikhawatirkan bisa terkoyak. Tak ada keberanian untuk berubah, mungkin karena alasan takut salah, dan sebagainya.

Daripada dihantui keengganan berubah dengan bersikeras berpegang pada suatu cara atau gagasan tertentu, orang yang fleksibel  mulai dengan prinsip bahwa apabila satu pemecahan tidak bekerja, dia selalu mendekati masalah tersebut dari sudut lain. Hal ini oleh Joseph G. Mason disebut sebagai “harapan kreatif” Maksudnya, orang kreatif selalu berharap bisa memecahkan masalah betapa pun banyak kegagalan yang dialami yang menunda pemecahannya untuk sementara waktu.
Demikianlah, industri kreatif Indonesia sangat membutuhkan sumber daya manusia yang kreatif. Usaha menumbuhkembangkannya merupakan proses yang berlangsung secara berkesinambungan. Semoga di negeri ini kian banyak insan-insan kreatif yang berkarya demi kemajuan bersama.
Read more ...

Djenar Maesa Ayu : Inspirasi Tidak Bisa Dicari!

Djenar Mahesa Ayu
Aku duduk di sofa ruang tamu setelah usai mengerjakan pekerjaan terkait studiku. Aku ngobrol bersama istri sambil nyeruput secangkir kopi. Kopi hangat yang ditemani  dua potong kue basah menjadi begitu nikmat disantap saat  udara dingin seperti saat ini.

Hujan masih mengguyur bumi . Satu jam berlalu, tapi belum juga reda. Tetesan-tetesan  airnya yang ditiup angin  membasahi teras rumah.
Tiba-tiba petugas pengantar koran datang. Seperti biasa, ia membunyikan bel sepeda motornya. Aku bergegas menuju pintu pagar rumah untuk mengambil koran Kompas yang kami langgani sejak 7 bulan terakhir.
“Hujan-hujan Pak. Nggak tunggu reda dulu?” sapaku kepada pengantar koran itu.
“Ya, gimana lagi, harus diantar, biar nggak kesiangan Pak,” sahutnya.

Ia pun dengan cepat mengeluarkan koran dari bawah jas hujan dan menyerahkannya kepadaku. Kuterima koran itu dan melindunginya dari basah dengan memasukkan di balik baju yang kupakai. Tak lupa kusampaikan terima kasih kepada pengantar koran yang berdedikasi itu. Kuberlari masuk kembali ke rumah.
“Mandilah dulu,” kata istriku tiba-tiba.
“Sebentar saja,” sahutku seraya mulai membuka koran itu halaman demi halaman.
“Pa, sebaiknya mandi dulu, nanti setelah mandi, baru baca koran,” saran istriku yang hafal dengan kebiasaaku kalau sudah membaca koran atau buku, acap  lupa segalanya, he he he.
“Ya, iya, lihat judul-judulnya saja dulu,” kataku sekenanya.
Eh, ada yang menarik perhatianku.  Pada halaman 32, Kompas edisi Sabtu, 14 januari 2012, tertera judul Djenar Maesa Ayu Ketagihan Menulis.   Biasalah, kalau artikel atau pembicaraan tentang tulis-menulis  so pasti selalu menarik perhatianku.

Novelis  ngetop, Djenar Maesa Ayu, bakal meluncurkan antologi cerpen T(w)ITIT!-nya tepat di-ultah-nya yang ke-39, 14 Januari. Hebatnya, ia bisa menyelesaikan 10 dari 11 cerpen dalam antologinya itu hanya dalam 10 hari. Berarti, satu hari satu cerpen! Pantaslah kalau ia bilang bahwa inspirasi itu tidak bisa dicari. Sebaliknya, inspirasilah yang mendatangi seseorang. Saat dibalut inspirasi, Maesa Ayu bekerja seperti orang kesetanan.

Bagi para penulis fiksi, proses kreatif itu sangat personal sifatnya. Bisa berbeda bahkan terbalik dengan pendapat orang pada umumnya. Persis seperti pendapat Djenar Maesa Ayu tentang inspirasi di atas.
Read more ...

Dewi “Dee” Lestari : Hadiah Terbesar untuk Sang Penulis

Dewi 'Dee' Lestari
Untuk menjadi penulis yang berhasil tentu dibutuhkan perjuangan panjang. Di dalamnya ada kerja keras dan kerja cerdas. Waktu, tenaga, uang, dan  terutama pemikiran,  banyak disedot  untuk pencapaiannya. Tidak ada jalan instant agar seseorang  bisa menjadi penulis sukses.
 
Perjuangan panjang itu tentu pantas mendapatkan hadiah, hadiah dari kehidupan. Lalu, apa saja hadiah-hadiah yang didapatkan para penulis yang berhasil dalam kariernya? Apa pula hadiah terbesarnya? Inilah dia.Pertama-tama, sebuah hadiah yang menyenangkan, yakni  dimuatnya tulisan di koran/majalah. Keberhasilan menembus koran/majalah merupakan salah satu tahapan penting sebagai wujud keberhasilan bagi seorang penulis yang tengah memantapkan karier kepenulisannya. Kalau sebuah artikel dikirim ke sebuah media massa dan kemudian berhasil dimuat, duh alangkah gembira rasahanya hati. Hal ini bisa menjadi penyemangat yang luar biasa untuk meraih kesuksesan berikutnya.
 
Hadiah kedua, berupa honorarium yang datang belakangan. Mungkin jumlahnya tidak seberapa, tapi tetap menyenangkan. Honor itu menjadi begitu berharga karena diperoleh dengan usaha keras. Ada kegembiraan kalau pada suatu ketika Pak Pos datang dan berujar: “Pak/Bu, ini ada wesel dari koran/majalah.”
 
Lalu, hadiah ketiga, berupa sms atau telepon dari seorang teman. Dari seberang, seorang sahabat berkata: “Hei, kawan, saya sudah baca tulisanmu di koran/majalah hari ini. Bagus. Selamat ya, sukses.” Mendapatkan ucapan selamat dan dukungan seperti itu, siapa juga tidak senang. Atensi semacam ini bisa menjadi penyemangat untuk meraih keberhasilan-keberhasilan berikutnya.
 
Hadiah keempat? Ini mungkin terbilang hadiah terbesar untuk penulis sekaligus bagi kemuliaan hidup manusia. Novelis Dewi Lestari yang lebih dikenal dengan nama ngetop, Dee, punya pendapat tentang hadiah terbesar ini. Ia bilang, bahwa hadiah terbesar sebagai  penulis adalah ketika karyanya dapat menyentuh, bahkan mengubah hidup pembacanya.

Tentu saja untuk menyentuh pembaca, apalagi mengubah hidup pembaca, bukanlah perkara gampang. Tetapi, itulah hadiah terbesar bagi  seorang penulis yang pantas  diperjuangkan. Siapa mau melangkah mendapatkannya?
Read more ...

Tata Cara Mengirim Artikel ke Koran

I Ketut Suweca


Ketika memposting tulisan berjudul “Menulis Artikel untuk Koran, Yuk!”  di lapak ini, sahabat kita, Mas Chris Suryo, meminta saya menulis lebih detail lagi tentang tata cara pengiriman naskah ke koran. “Bermanfaat sekali Pak Ketut. Lebih teknis lagi dong. Bentuk huruf, spasi, dll. Terus masalah disket, email…,” komentarnya.
Sebenarnya, hal ini sudah pernah saya tulis sebelumnya di kompasiana, di samping saya tulis juga secara lebih rinci di dalam buku Subconscious Mind Writing: Memanfaatkan Kemampuan Luar Biasa Pikiran Bawah Sadar dalam Penulisan, diterbitkan Udayana University Press, tahun 2011. (Buku ini sudah beredar di TB Gramedia dan Togamas, harga Rp.45.000,-)
Akan tetapi, agar Mas Chris dan sahabat yang memerlukan tidak penasaran dan dapat terpenuhi keinginannya yang sangat baik itu, di sini saya kemukakan kembali tentang tata cara pengiriman naskah ke koran dan hal-hal lain yang berkaitan, sbb.:
1.      Ketik naskah Anda dengan rapi dan cermat;
2.      Pergunakan font Times New Roman, 12, 1,5 spasi, 3-5 halaman kertas A4;
3.      Lengkapi dengan Kata Pengantar  tulisan yang ditujukan ke alamat Redaksi;
4.      Lengkapi pula dengan identitas diri yang terkait dengan kompetensi;
5.      Kirim naskah Anda melalui pos atau melalui email;
6.      Untuk pengiriman via pos, sertai dengan amplop dan prangko pengembalian;
7.      Tunggu kira-kira dua minggu (untuk koran harian) sejak saat pengiriman untuk meyakini naskah itu ditolak atau diterima;
8.      Pada umumnya tidak ada pemberitahuan dari Redaksi sebuah naskah akan dimuat atau ditolak;
9.      Anda sebagai penulislah yang mesti rajin memonitor untuk mengetahui naskah Anda dimuat atau tidak (bisa dilihat di situs web koran tersebut atau dengan mendapatkan cetakannya);
10.  Jika tidak dimuat, Anda boleh memilih untuk membuat naskah baru atau merevisi naskah tadi dan mengirimkannya ke koran lain;

Itulah ikhwal pengiriman artikel ke koran yang umumnya berlaku sesuai dengan pengalaman penulis. Ayo, segeralah menulis dan kirim ke koran. Jangan ragu-ragu, jangan malu-malu.
Kalau naskah Anda dimuat, nikmatilah kepuasan batin yang luar biasa. Nikmati  ekstase intelektual yang tiada duanya.
Read more ...

Enam Langkah Jitu Mengedit Artikel

I Ketut Suweca


Beberapa kali saya menulis di lapak ini tentang pentingnya editing sebelum sebuah artikel dikirim ke media massa. Akan tetapi, pembicaraan tentang pentingnya editing saja belum cukup. Diperlukan bagaimana cara mengedit tulisan sehingga hasilnya memuaskan. Di bawah ini penulis menyampaikan cara mengedit tulisan yang biasa penulis praktikkan sebelum menuntaskan dan mengirimkan sebuah artikel ke media yang diharapkan memuatnya. Inilah langkah jitu mengedit artikel dimaksud.
Pertama, edit isi artikelnya. Hal pokok yang hendak dikomunikasikan oleh penulis kepada pembaca adalah konten tulisan. Terkait dengan pengeditan isi, kita dapat memeriksa apakah ide-ide yang hendak kita sampaikan sudah tertuang dengan pasti dan jelas dalam artikel kita? Jangan sampai, maksud menyampaian sejumlah ide dalam sebuah artikel, tapi yang tertulis hanya sebagian saja. Jadi, substansi artikel mesti mencerminkan isi yang dimaksudkan.
Kedua, edit ejaan dan tata bahasanya. Untuk hal ini, kita bisa mempedomani EYD dan tata bahasa yang sedang diberlakukan. Sebisanya para penulis bergerak dalam kaidah bahasa yang ditetapkan. Sekadar contoh, penulisan kata depan dan awalan paling sering dicampuradukkan. Mestinya, “di” sebagai awalan menyatu dengan kata kerja yang mengikutinya, sehingga yang benar bukan “di makan” melainkan “dimakan.” Selanjutnya, kata depan “di” sebagai penunjuk tempat semestinya lepas dari kata yang mengikutinya, sehingga yang betul bukan “dirumah” melainkan “di rumah.”  Kuncinya:  kalau di belakang “di” terdapat kata keterangan tempat, maka “di” harus dipisah dari kata yang mengikutinya. Hal ini tampak sangat sepele, tapi acapkali dilupakan atau kurang mendapat perhatian.
Ketiga, edit sistematika dan logikanya. Sistematisasi tulisan adalah hal wajib pada setiap artikel, makalah, dan tulisan lain apa pun jenisnya. Tulisan yang tak sistematis bisa membingungkan pembaca. Maka, sejak awal membuat kerangka tulisan mesti sudah ditetapkan mana ide yang akan ditempatkan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Sistematika ini berkait erat dengan logika. Jika sistematika tidak baik, dapat dipastikan logikanya pun nggak jalan. Bisa jadi melompat-lompat atau tersendat-sendat. Dengan sistematika dan logika yang baik, para pembaca akan merasa bagai berenang mengikuti air mengalir, mudah memahami konten tulisan kita.
Keempat, edit kosa katanya. Setiap kali menulis, pertanyaan yang muncul adalah: sudahkah kosa kata artikel yang ditulis cukup kaya? Kekayaan perbendaharaan kata dapat dilihat dari variasi kata-kata yang dipakai dalam mengekspresikan pikiran ke dalam bahasa tulis. Kurangi pengulangan-pengulangan kata tertentu yang membuat tulisan monoton dan menjemukan. Kian beragam kosa kata yang digunakan, maka kian segar pula sebuah artikel. Variasi kata menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Bagai gadis cantik, tulisan yang kosa katanya bervariasi, cenderung menarik pembaca untuk “mencumbui”-nya. Jangan pernah ragu menggunakan bahasa lain sebagai variasi, seperti bahasa Inggris dan bahasa daerah. Tak perlu terpaku memakai bahasa Indonesia dan alergi menyelipkan bahasa lain. Ingatlah, bahasa Indonesia pun terbentuk dari berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa daerah dan bahasa Inggris. Hanya saja, hendaknya tidak  berlebihan. Pakailah seperlunya saja.
Kelima, edit teknik penyampaiannya. Setiap penulis tentu berharap agar tulisannya enak dibaca. Untuk mencapai itu, pilih kata-kata yang up to date dan familier dengan pembaca. Hindari penulisan yang zakelik, sehingga artikel kita terasa  kaku dan membosankan. Usahakan tulisan kita bergaya populer. Akan tetapi, jangan pula hanya gara-gara ingin ngepop, lalu jadi berlebihan sehingga terkesan ceriwis dan main-main.
Ringkasnya, yang perlu kita edit sebelum menuntaskan sebuah artikel meliputi isi, ejaan dan tata bahasa, sistematika, logika, kosa kata, dan teknik penyampaiannya. Kalau kelima hal itu dilakukan, maka yakinlah tulisan kita akan berpeluang besar untuk dimuat di media seperti koran atau majalah.Beberapa kali saya menulis di lapak ini tentang pentingnya editing sebelum sebuah artikel dikirim ke media massa. Akan tetapi, pembicaraan tentang pentingnya editing saja belum cukup. Diperlukan bagaimana cara mengedit tulisan sehingga hasilnya memuaskan. Di bawah ini penulis menyampaikan cara mengedit tulisan yang biasa penulis praktikkan sebelum menuntaskan dan mengirimkan sebuah artikel ke media yang diharapkan memuatnya. Inilah langkah jitu mengedit artikel dimaksud.
Pertama, edit isi artikelnya. Hal pokok yang hendak dikomunikasikan oleh penulis kepada pembaca adalah konten tulisan. Terkait dengan pengeditan isi, kita dapat memeriksa apakah ide-ide yang hendak kita sampaikan sudah tertuang dengan pasti dan jelas dalam artikel kita? Jangan sampai, maksud menyampaian sejumlah ide dalam sebuah artikel, tapi yang tertulis hanya sebagian saja. Jadi, substansi artikel mesti mencerminkan isi yang dimaksudkan.
Kedua, edit ejaan dan tata bahasanya. Untuk hal ini, kita bisa mempedomani EYD dan tata bahasa yang sedang diberlakukan. Sebisanya para penulis bergerak dalam kaidah bahasa yang ditetapkan. Sekadar contoh, penulisan kata depan dan awalan paling sering dicampuradukkan. Mestinya, “di” sebagai awalan menyatu dengan kata kerja yang mengikutinya, sehingga yang benar bukan “di makan” melainkan “dimakan.” Selanjutnya, kata depan “di” sebagai penunjuk tempat semestinya lepas dari kata yang mengikutinya, sehingga yang betul bukan “dirumah” melainkan “di rumah.”  Kuncinya:  kalau di belakang “di” terdapat kata keterangan tempat, maka “di” harus dipisah dari kata yang mengikutinya. Hal ini tampak sangat sepele, tapi acapkali dilupakan atau kurang mendapat perhatian.
Ketiga, edit sistematika dan logikanya. Sistematisasi tulisan adalah hal wajib pada setiap artikel, makalah, dan tulisan lain apa pun jenisnya. Tulisan yang tak sistematis bisa membingungkan pembaca. Maka, sejak awal membuat kerangka tulisan mesti sudah ditetapkan mana ide yang akan ditempatkan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Sistematika ini berkait erat dengan logika. Jika sistematika tidak baik, dapat dipastikan logikanya pun nggak jalan. Bisa jadi melompat-lompat atau tersendat-sendat. Dengan sistematika dan logika yang baik, para pembaca akan merasa bagai berenang mengikuti air mengalir, mudah memahami konten tulisan kita.
Keempat, edit kosa katanya. Setiap kali menulis, pertanyaan yang muncul adalah: sudahkah kosa kata artikel yang ditulis cukup kaya? Kekayaan perbendaharaan kata dapat dilihat dari variasi kata-kata yang dipakai dalam mengekspresikan pikiran ke dalam bahasa tulis. Kurangi pengulangan-pengulangan kata tertentu yang membuat tulisan monoton dan menjemukan. Kian beragam kosa kata yang digunakan, maka kian segar pula sebuah artikel. Variasi kata menjadi sebuah daya tarik tersendiri. Bagai gadis cantik, tulisan yang kosa katanya bervariasi, cenderung menarik pembaca untuk “mencumbui”-nya. Jangan pernah ragu menggunakan bahasa lain sebagai variasi, seperti bahasa Inggris dan bahasa daerah. Tak perlu terpaku memakai bahasa Indonesia dan alergi menyelipkan bahasa lain. Ingatlah, bahasa Indonesia pun terbentuk dari berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa daerah dan bahasa Inggris. Hanya saja, hendaknya tidak  berlebihan. Pakailah seperlunya saja.
Kelima, edit teknik penyampaiannya. Setiap penulis tentu berharap agar tulisannya enak dibaca. Untuk mencapai itu, pilih kata-kata yang up to date dan familier dengan pembaca. Hindari penulisan yang zakelik, sehingga artikel kita terasa  kaku dan membosankan. Usahakan tulisan kita bergaya populer. Akan tetapi, jangan pula hanya gara-gara ingin ngepop, lalu jadi berlebihan sehingga terkesan ceriwis dan main-main.
Ringkasnya, yang perlu kita edit sebelum menuntaskan sebuah artikel meliputi isi, ejaan dan tata bahasa, sistematika, logika, kosa kata, dan teknik penyampaiannya. Kalau kelima hal itu dilakukan, maka yakinlah tulisan kita akan berpeluang besar untuk dimuat di media seperti koran atau majalah.
Read more ...

Bunga Wijaya Kusuma Itu Sebentar Lagi Mekar

13249845002028848322
I Ketut Suweca

Sudah  lebih dari empat kali Wijaya Kusuma yang tumbuh di halaman rumahku berbunga. Saat mekar untuk pertama kalinya, kami sekeluarga bahkan menungguinya hingga tengah malam untuk mengetahui proses kembangnya. Seperti menunggu orang yang tengah melahirkan, kami duduk bersama-sama, dekat dengan kuncup bunga itu. Kira-kira pukul 19.00 proses pemekaran itu mulai kami perhatikan. Kami sampai melepaskan semua pekerjaan lain hanya untuk menonton bunga misterius ini mekar secara perlahan. Bunga itu mekar sedikit demi sedikit, proses yang amat lambat sehingga sulit dideteksi pergerakannya. “Ada nggak ya kamera yang bisa merekam proses itu?” demikian bisik anak pertama saya seperti berbicara kepada dirinya sendiri.  Tepat pukul 24.00 bunga itu mekar sempurna. Baunya harum mewangi menyebar ke sekeliling. Tampilannya indah dan sangat memesona di antara bunga dan dedaunan di sekitarnya.
Itulah pengalaman pertama kami melihat proses mekarnya bunga ini. Ketika berbunga beberapa kali belakangan, kami kurang memerhatikannya. Kalah oleh rasa kantuk, he he he.

Tanaman bunga Wijaya Kusuma yang hanya tumbuh sebatang di halaman rumahku, kini, lagi-lagi,  menumbuhkan kuncup bunga dari helai-helai daunnya. Tak hanya satu, ada empat kuncup sudah menggelayut dengan manisnya di empat  lembar  daunnya yang pipih dan tebal. Sebelum ini, paling banyak muncul dua atau tiga bunga. Kali ini agak istimewa, ada empat kuncup bunga. Tak lama lagi kami akan menyaksikan kembali proses mekarnya.
Bunga ini sungguh unik. Untuk mekar sempurna hanya butuh waktu beberapa jam dan kemudian layu. Puncak mekarnya pun pukul 12 malam dan segera akan layu setelah itu. Pagi keesokan harinya bunga itu sudah benar-benar layu.
Konon, bunga Wijaya Kusuma berarti bunga kemenangan. Wijaya artinya “kemenangan”, dan kusuma artinya “bunga”.  Konon lagi, di zaman kerajaan  dulu ada keyakinan bahwa apabila bunga ini mekar di istana saat sang istri raja sedang hamil, berarti bakal lahir seorang kandidat raja yang akan duduk di singgasana kerajaan. Kelak, saat memerintah, nama raja itu akan harum karena dicintai  rakyatnya. Percaya atau tidak, silakan.
Sahabat yang dulu memberikan tanaman bunga itu kepada saya pernah mengatakan, bahwa bunga Wijaya Kusuma bisa menjadi tolok ukur kedamaian keluarga. “Tanaman ini hanya akan berbunga dan mekar apabila dia tumbuh di halaman rumah yang penghuninya hidup tenang dan damai. Dia tak akan mau berbunga di sebuah rumah yang penuh dengan kekacauan atau pertengkaran,” jelasnya. Percaya atau tidak, silakan.
Itulah mitos yang mengelilingi bunga cantik ini. Yang pasti, tanaman ini berjenis kaktus. Karena itu, ia tak suka banyak air, batangnya bisa busuk jika kebanyakan air. Apakah di rumah Anda juga tengah tumbuh Wijaya Kusuma yang kini tengah berbunga?
Sampai di sini, saya jadi teringat dengan Omjay, kompasianer ngetop yang bernama asli Wijaya Kusumah. Beda sedikit dengan nama untuk bunga itu, karena ada huruf  ‘h’ di belakang nama beliau. Hello Omjay, maaf nama Omjay saya sebut-sebut di sini.
1324984574453333854
1324984601924477491
Gambar : Wijaya Kusuma mulai mekar dan mekar penuh
Read more ...

Penutup Artikel Bergaya Menggugah

I Ketut Suweca


Seperti halnya kalimat-kalimat pembuka atau lead, penutup atau ending sebuah artikel pun seyogianya memiliki gaya menggugah. Kalau paragraf pertama diharapkan mendorong pembaca agar tertarik dan lanjut membaca tulisan itu, maka paragraf penutup dimaksudkan agar pembaca terkesan. Lantas bagaimana paragraf  penutup sebuah artikel yang memiliki daya gugah?


Mari kita perhatikan tiga contoh paragraf penutup berikut ini:
1.      “Mahasiswa tak perlu dipandang sebagai juru selamat atau ratu adil yang kedatangannya perlu dinantikan. Mahasiswa juga tidak perlu dipandang eksklusif sehingga harus selalu berjuang sendirian. Mari berkolaborasi untuk Indonesia yang lebih baik” ( Okki Sutanto, Mahasiswa dan Kolaborasi, Kompas, Selasa, 27 Desember 2011, hal. 7).

2.      “Ijinkan penulis mengakhiri tulisan ini dengan puisi Cesaire yang dikutip Frantz Fanon (2000:65): Namaku sakit hati/nama baptisku pengkhianat/statusku pemberontak/usiaku seusia batu/rasku ras manusia/agamaku persaudaraan”. (Fajar Riza Ul Haq, Bakar Diri dalam Demokrasi SBY, Kompas, Selasa, 20 Desember 2011, hal. 6).

3.      “Sebagai penutup, marilah kita renungkan apa yang sebenarnya kita dapatkan dari hidup ini. Bukankah kita datang ke dunia dalam kondisi telanjang? Bukankah kita meninggalkan dunia ini hanya dengan membawa selembar kain putih? Jadi, hanya itukah keuntungan yang kita peroleh sepanjang hidup di dunia?” (Arvan Pradiansyah, Untuk Selembar Kain Putih, Majalah Swasembada, Edisi 1-14 Februari 2007, hal. 126).

Paragraf penutup pada intinya merupakan  kesimpulan dari keseluruhan uraian yang dipaparkan sebelumnya. Kalimatnya menggugah dan benar-benar pilihan. Acapkali ditambahkan dengan kata-kata mutiara, ajakan, pertanyaan, saran, renungan, atau harapan.
Nah, bagaimana dengan penutup artikel yang Anda ciptakan?
Read more ...